PEMBUKAAN
Kata
Pengantar
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, berkat rahmat serta hidayahNya sehingga saya bias menyelesaikan makalah
“KEBUDAYAAN DI TEMANGGUNG” dengan sukses.
Hasil dari pendidikan yang bermutu adalah siswa sehat,
mandiri, berakhlak mulia, beretos kerja, dan berpengetahuan. Hakikat
pembelajaran adalah aktivitas perubahan tingkh laku pembelajar(behavioural
change). Perubahan tingkah laku ini akan tercapai melalui kerja keras dan usaha
cerdas dari siapapun mereka yang terlibat dalam proses belajar itu sendiri.
Adalah penting bagi setiap siswa mampu menemukan paling tidak satu wilayah
kemampuan dari berbagai jenis kecerdasan yang ada. Usaha ini akan menumbuhkan
semangat siswa dalam mengungkap bakat dan meningkatkan daya cipta.
Dengan pembelajaran seni terhadap dunia pendidikan,
seluas mungkin kesempatan tergalinya bakat-bakat alam bisa dicapai. Seni adalah
sesuatu yang bersifat universal di belahan dunia ini, entah di negara manapun
selalu memiliki ciri khas tersendiri apabila ditinjau dari segi budaya.
Sedangkan dari segi arkeologis terdapat data
etnografi berupa kesenian di sebuah kalangan masyarakat tertentu, yang
dijadikan sebagai salah satu bahan analogi dalam usaha merekonstruksi
kebudayaan seni masyarakat tersebut pada masa lampau berkaitan dengan konsep
kesenian. Tak terkecuali di Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah,
ternyata juga menyimpan pesona tersendiri. Begitu kayanya Temanggung akan
Kebudayaan Indonesia yang bisa menumbuhkan bakat-bakat alam yang terpendam,
kemampuan berpikir logis, kecerdasan, akhlak mulia, berpengetahuan budaya
tinggi, dan rasa cinta tanah air dapat digali dalam pengenalan dan pembelajaran
Kebudayaan.
Besar harapan saya sebagai penyusun agar makalan yang
telah saya susun ini dapat bermanfaat. Kritik dan saran untuk menunjang
kemajuan makalah ini sangat saya harapakan. Terima kasih
Ini bisa
dipahami dimana kita lihat sebagai upaya untuk mengembangkan kreativitas,
meningkatkan produksi daerah, dan juga dalam rangka mengharumkan nama daerah.
Dan sebaliknya harus diperhatikan agar tidak saling melemahkan dan mematikan,
sehingga tidak menimbulkan kontra produktif bagi budaya dan bagi
persatuan-kesatuan bangsa.
ISI
RAKAI PIKATAN
SEJARAH TEMANGGUNG
Sejarah Temanggung selalu
dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama Rakai Pikatan. Nama Pikatan
sendiri dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah yang berada pada sumber mata
air di desa Mudal Kecamatan Temanggung. Disini terdapat peninggalan berupa
reruntuhan batu-bebatuan kuno yang diyakini petilasan raja Rakai Pikatan.
Sejarah Temanggung mulai
tercatat pada Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi yang ditemukan
penduduk dusun Dunglo Desa Gandulan Kecamatan Kaloran Temanggung pada bulan
November 1983. Prasasti itu menggambarkan bahwa Temanggung semula berupa
wilayah kademangan yang gemah ripah loh jinawi dimana salah satu wilayahnya
yaitu Pikatan. Disini didirikan Bihara agama Hindu oleh adik raja Mataram Kuno
Rahyangta I Hara, sedang rajanya adalah Rahyangta Rimdang (Raja Sanjaya) yang
naik tahta pada tahun 717 M (Prasasti Mantyasih). Oleh pewaris tahta yaitu Rake
Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M, Bihara Pikatan
memperoleh bengkok di Sawah Sima. Jika dikaitkan dengan prasasti Gondosuli ada
gambaran jelas bahwa dari Kecamatan Temanggung memanjang ke barat sampai
kecamatan Bulu dan seterusnya adalah wilayah yang subur dan tenteram (ditandai
tempat Bihara Pikatan).
Pengganti raja Sanjaya adalah
Rakai Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M dan bertahta
selama kurang lebih 38 tahun. Dalam legenda Angling Dharma, keratin
diperkirakan berada di daerah Kedu (Desa Bojonegoro). Di desa ini ditemukan
peninggalan berupa reruntuhan. Di wilayah Kedu juga ditemukan desa Kademangan.
Pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan yang naik tahta pada
tanggal 1 april 784 dan berakhir pada tanggal 28 Maret 803.
Rakai Panunggalan bertahta di Panaraban yang
sekarang merupakan wilayah Pa akan. Disini ditemukan juga kademangan dan abu
jenasah di Pakurejo daerah Bulu. Selanjutnya Rakai Panunggalan digantikan oleh
Rakai Warak yang diperkirakan tinggal di Tembarak. Disini ditemukan reruntuhan
di sekitar Masjid Menggoro dan reruntuhan Candi dan juga terdapat Desa
Kademangan. Pengganti Rakai warak adalah Rakai Garung yang bertahta pada
tanggal 24 januari 828 sampai dengan 22 Pebruari 847. Raja ini ahli dalam
bangunan candid an ilmu falak (perbintangan). Dia membuat pranata mangsa yang
sampai sekarang masih digunakan. Karena kepandaiannya sehingga Raja Sriwijaya
ingin menggunakannya untuk membuat candi. Namun Rakai Garung tidak mau walau
diancam. Kemudian Rakai Garung diganti Rakai Pikatan yang bermukim di
Temanggung. Disini ditemukan Prasasti Tlasri dan Wanua Tengah III. Disamping
itu banyak reruntuhan benda kuno seperti Lumpang Joni dan arca-arca yang
tersebar di daerah Temanggung. Disini pun terdapat desa Demangan.
Dari buku sejarah karangan I
Wayan badrika disebutkan bahwa Rakai Pikatan selaku raja Mataram Kuno
berkeinginan menguasai wilayah Jawa Tengah. Namun untuk merebut kekuasaan dari
raja Bala Putra Dewa selaku penguasa kerajaan Syailendra tidak berani. Maka
untuk mencapai maksud tersebut Rakai Pikatan membuat strategi dengan mengawini
Dyah Pramudha Wardani kakak raja Bala Putra Dewa dengan tujuan untuk memiliki
pengaruh kuat di kerajaan Syailendra. Selain itu Rakai Pikatan juga menghimpun
kekuatan yang ada di wilayahnya baik para prajurit dan senapati serta
menghimpun biaya yang berasal dari upeti para demang. Pada saat itu yang diberi
kepercayaan untuk mengumpulkan upeti adalah Demang Gong yang paling luas
wilayahnya. Rakai Pikatan menghimpun bala tentara dan berangkat ke kerajaan
syailendra pada tanggal 27 Mei 855 Masehi untuk melakukan penyerangan. Dalam
penyerangan ini Rakai Pikatan dibantu Kayu Wangi dan menyerahkan wilayah
kerajaan kepada orang kepercayaan yang berpangkat demang. Dari nama demang dan
wilayah kademangan kemudian muncul nama Ndemanggung yang akhirnya berubah
menjadi nama Temanggung.
Catatan sejarah Temanggung
berasal dari :
Ø
Prasasti
Wanua Tengah III, Berkala arkeologi tahun 1994 halaman 87 bahwa Rakai Pikatan
dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 855 M.
Ø
Prasasti
Siwagrha terjemahan Casparis (1956 - 288), pada tahun 856 M Rakai Pikatan
mengundurkan diri.
Ø
Prasasti
Nalanda tahun 860 (Casparis 1956, 289 - 294), Balaputra dewa dikalahkan perang
oleh Rakai Pikatan dan Kayu Wangi.
Ø
Prasasti
Wanua Tengah III, Berkala Aekeologi Tahun 1994 halaman 89, Rakai Kayu Wangi
naik tahta tanggal 27 Mei 855 M.
Ø
Dalam
buku karangan I Wayan Badrika halaman 154, Pramudya Wardani kawin dengan Rakai
Pikatan dan naik tahta tahun 856 M. Balaputra Dewa dikalahkan oleh Pramudha
wardani dibantu Rakai Pikatan (Prasasti Ratu Boko) tahun 856 M.
Catatan diatas dapat
disimpulkan bahwa Rakai Pikatan mengangkat putranya Kayu Wangi. Selanjutnya
mengundurkan diri dan meninggalkan Mataram untuk kawin dengan Pramudha Wardani.
Dalam peperangan melawan Balaputra Dewa, Rakai Pikatan dibantu putranya Kayu
Wangi.
Riwayat Singkat Hari Jadi Kabupaten Temanggung
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia
Belanda, Nomor 11 Tanggal 7 April 1826, Raden Ngabehi Djojonegoro ditetapkan
sebagai Bupati Menoreh yang berkedudukan di Parakan, dengan gelar Raden
Tumenggung Aria Djojonegoro. Setelah perang Diponegoro berakhir, beliau
kemudian memindahkan Ibu Kota ke Kabupaten Temanggung. Kebijaksanaan pemindahan
ini didasarkan pada beberapa hal; Pertama, adanya pandangan masyarakat Jawa
kebanyakan pada sat itu, bahwa Ibu Kota yang pernah diserang dan diduduki musuh
dianggap telah ternoda dan perlu ditinggalkan. Kedua, Distrik Menoreh sebuah
daerah sebagai asal nama Kabupaten Menoreh, sudah sejak lama digabung dengan
Kabupaten Magelang, sehingga nama Kabupaten Menoreh sudah tidak tepat lagi.
Mengingat hal tersebut, atas dasar usulan Raden Tumenggung Aria Djojonegoro,
lewat esiden Kedu kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka disetujui
dan ditetapkan bahwa nama Kabupaten Menoreh berubah menjadi Kabupaten
Temanggung. Persetujuan ini berbentuk Resolusi Pemerintah Hindia Belanda Nomor
4 Tanggal 10 Nopember 1834.
KEBUDAYAAN DI TEMANGGUNG
Seni adalah sesuatu yang
bersifat universal di belahan dunia ini, entah di negara manapun selalu
memiliki ciri khas tersendiri apabila ditinjau dari segi budaya. Sedangkan dari
segi arkeologis terdapat data etnografi berupa
kesenian di sebuah kalangan masyarakat tertentu, yang dijadikan sebagai salah
satu bahan analogi dalam usaha merekonstruksi kebudayaan seni masyarakat
tersebut pada masa lampau berkaitan dengan konsep kesenian. Tak
terkecuali di Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, ternyata juga menyimpan
pesona tersendiri dengan adanya seni cengklungan yang konon adalah budaya asli
Temanggung
Cengklungan Seni Khas Temanggungan
Di tengah hiruk pikuknya
ekspansi modernisasi, kesenian tradisional itu masih mampu bertahan hidup meski
dengan segala keterbatasan. Adalah semangat para senimannya untuk tetap
berjuang melestarikan budaya warisan leluhur ini. Generasi kini tak banyak tahu
apakah cengklungan itu. Ini dibuktikan dengan hanya beberapa orang dari
generasi muda Temanggung yang tahu tentang kesenian tradisional ini.
Seperti dalam Festival Budaya Temanggung yang digelar dalam
rangka memeriahkan hari jadi ke-175 Kabupaten Temanggung beberapa waktu lalu,
kesenian cengklungan turut serta memeriahkannya. Selain itu grup-grup kesenian
lain yang berasal dari berbagai wilayah di Kabupaten Temanggung tak ketinggalan
ikut berpartisipasi. Kesenian tradisional tersebut antara lain: warokan, kuda
lumping, sorengan, ndayakan, kubro, siteran, petilan wayang, bangilun,
prajuritan, tayub, srandul, wulangsunu, cokekan, barsomah dan lain-lain.
Dari sekian banyak kesenian tradisional yang ditampilkan,
cengklungan ternyata mampu menyita perhatian para penonton. Kebanyakan dari
para penonton cukup antusias menikmati penampilan para seniman cengklungan yang
memang sudah amat jarang ditemukan keberadaannya. Tak heran jika para penonton
langsung bergerak maju ingin menyaksikan kesenian ini dari dekat begitu nama
cengklungan disebut oleh panitia.
Dalimin WS, sesepuh sekaligus pelatih seni cengklungan dari
Desa Geblok Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, bersama rekan-rekannya
dengan gigih dia mencoba mengenalkan kembali tradisi yang hampir punah ini.
Menurut pria berusia 60 tahun itu asal mula cengklungan memang masih tanda
tanya. Dia mengatakan jika kesenian yang satu ini boleh dikata masih kabur
sehingga hingga kini tidak diketahui secara pasti siapa yang mula-mula
memperkenalkan. Namun menurutnya, pada jaman penjajahan Belanda kesenian itu
sudah ada. Bahkan hampir di seluruh pelosok desa di Temanggung kala itu
kesenian cengklungan lazim dimainkan bila sedang ada acara-acara tertentu
seperti perkawinan atau khitanan.
Pak Dalimin memang sudah menjadi legenda di dalam kesenian
Cengklungan ini. Pertama kali belajar cengklungan pada saat masih berusia 10
tahun dengan dilatih oleh ayah dan kakeknya, dia menjadikan cengklungan salah
satu kesenian yang diperhitungkan di Temanggung. Semenjak terjun di dunia ini
pula beliau tidak pernah letih mengajarkan cengklungan kepada masyarakat dan
warga sekitar tempat tinggalnya.
Sudah sekitar 10 tahun ini dia mendirikan Paguyuban Seni
Cengklungan di tempat tinggalnya di desa Geblok, Kaloran, Temanggung. Meskipun
jumlah peminatnya masih sedikit, pria berkacamata ini tetap yakin bila
perkembangan cengklungan akan dapat lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Tiap hari senin dan rabu malam, suara khas cengklungan
berkumandang di depan balai desa Geblog. Para Seniman dari Paguyuban Seni
Cengklungan ternyata sedang melakukan latihan. Mereka memainkan lagu-lagu
langgam jawa dan lagu-lagu jaman sekarang. Tak jarang warga sekitar yang sedang
menontonpun ikut bernyanyi dan larut dalam suasana malam. Latihan seperti ini
memang rutin digelar dua kali tiap minggu. Dengan anggota sekitar 25 orang,
paguyuban ini siap tampil bila ditanggap oleh pihak-pihak yang sedang punya
hajat. Contohnya mereka pernah tampil di acara-acara pengajian, pernikahan,
khitanan, dan lain-lain. Bahkan bapak Bupati Temanggung pun sering mengundang
mereka pada saat acara-acara khusus di Pendopo Kabupaten.
Selanjutnya masih menurut Pak Min, begitu dia dipanggil,
cengklungan sebenarnya bercerita tentang kehidupan petani. Setiap gerakannya
menggambarkan tarian petani dalam mengolah tanah pertaniannya. Ada gerakan
mencangkul, menanam padi, menyiangi padi, menghalau burung, menuai sampai menumbuk
padi.
Sebenarnya dulu kesenian ini diciptakan dengan tidak
sengaja. Yaitu berawal dari spontanitas para penggembala yang sedang menunggu
ternaknya, mereka berkreasi memodifikasi payung kruduk dengan suket
grinting dan bambu, ternyata tingkah polah mereka mampu mengeluarkan
bunyi-bunyi yang harmonis ditambah nyanyian rakyat.
Uniknya alat musik pengiring yang bernama cengklung
tersebut, berasal dari payung kruduk (sejenis payung/mantol) yang dulu
sering digunakan para penggembala ternak ketika musim hujan. Payung kruduk
yang kini jarang kita temui, ternyata tersimpan di sebuah museum di Den Haag
Belanda. Benda ini terbuat dari bambu, clumpring, ijuk dengan dawai dari suket
(rumput) grinting. Keseluruhan alat musik pengiring terdiri dari empat payung
kruduk dan satu buah seruling bambu. Cengklung itu sendiri dibagi menjadi
beberapa fungsi yakni bass, kendang ketuk, kenong dan melodi/siter.
Kini para seniman cengklung itu berupaya untuk lebih
memasyarakatkan seni tersebut baik di Temanggung maupun di luar kota. Tahap
regenerasi pada kaum muda pun terus diupayakan demi kelangsungan hidup kesenian
khas Temanggung ini. Namun demikian mereka kini dengan semangat dan tetap
berharap mendapat dukungan dari Pemkab Temanggung serta masyarakat luas. Mereka
juga berkeinginan untuk memiliki kostum tersendiri khas Cengklungan.
Salah satu upaya agar kesenian cengklungan ini lebih
memasyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten Temanggung mewajibkan di setiap
kegiatan di daerah-daerahnya, menampilkan atraksi kesenian ini. Kegiatan ini
membutuhkan partisipasi masyarakat pada umumnya dan instansi terkait pada
khususnya.
Tujuannya adalah untuk melestarikan kebudayaan asli
Indonesia dan hal yang paling penting dari itu semua adalah agar kebudayaan
asli Nusantara tercinta ini tidak hilang karena diklaim oleh negara lain.
Tentunya sedih hati ini bila hal tersebut sampai terjadi.Kelak kesenian
cengklungan ini dapat bersaing dengan kesenian tradisional lain di Indonesia.
Bukan tidak mungkin cengklungan dapat sejajar dengan angklung dari Jawa Barat
atau Sasando Rote dari Nusa Tenggara Timur yang lebih dikenal orang bila
pemerintah dan pihak-pihak terkait serius untuk mengembangkan kesenian ini.
Bahkan dipilih untuk mewakili Indonesia di festival-festival musik tradisional di
luar negeri, siapa yang tahu.
Kuda lumping / Jaran kepang
Kuda Lumping menjadi satu budaya yang banyak diminati
masyarakat Temanggung. Terbukti dengan adanya kelompok kesenian Kuda Lumping
yang berjumlah sekitar 500 kelompok yang tersebar di seluruh wilayah
Temanggung. Seni kuda lumping sendiri pada saat ini sudah mulai muncul kembali
di dunia pentas hiburan rakyat, yang selama ini tertutup oleh ekspansi budaya
elektronika yang gencar dipublikasikan di media elektronik.
Pada tahun 2009 lalu mulai lagi bermunculan group-group baru
kuda lumping dipelbagai kecamatan di Temanggung. yang mulai mengkombinasikan
dari kesenian asli dengan kesenian modern.Kebudayaan yang satu ini memang
sering dikaitkan dengan unsur "Klenik" atau magis, namun sebagai
Pemuda hendaknya kita mengambil sikap yang positif dimana masih ada orang-orang
yang mampu bertahan untuk melestarikan budaya asli daerah mereka di antara
himpitan ekonomi, politik maupun budaya yang semakin menyingkirkan kesenian
ini.
Sejarah
Konon, tari
kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap
pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi
penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping
menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga,
melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan
tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I,
Raja Mataram,
untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari
asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat
heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini
terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan
anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali
dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang
mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah
kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan
kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural
yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan
aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Variasi Lokal
Di Jawa Timur,
seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk,
Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada
event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan
syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam
pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan
peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari kuda
lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan
Slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan
dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa
melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain
mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini
seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai,
biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca
agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Pagelaran Tari Kuda Lumping
4 fragmen tarian kuda lumping,
yaitu :
2
kali tari Buto Lawas;
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya
ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari.
Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan
musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan
atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan
ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut
menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari
dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya. Untuk
memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap
pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan
supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang
dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para
penari maupun penonton kembali pulih.
tari Senterewe;
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan
tari senterewe.
tari Begon Putri;
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam
orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari
seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.
Kuda lumping
juga disebut jaran kepang atau jathilan
adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok
prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang
di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat
dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan
prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan
atraksi kesurupan,
kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan
kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari
pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini
berasal dari Jawa,
Indonesia,
tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera
Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.
Kuda lumping
adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang
terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu
menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya
Warokan.
Warokan juga
salah satu perserta festival seni yang diadakan hampir setiap tahunnya. Warokan
tidak hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa, tapi juga anak-anak. Kostum yang
digunakan adalah kain batik atau biasa disebut Jarit dan dan membawa peralatan
menari seperti cemeti. Pemain Warok dirias sedemikian rupa sehingga
mencerminkan kegarangan sebagai prajurit garis depan.Tariannya juga
menggambarkan seorang yang gagah perkasa, berwatak pantang menyerah.
Lokasi:
Jragan Dukuh Kecamatan Tembarak dan Banaran Kecamatan Tlilir , Kabupaten Temanggung
Jragan Dukuh Kecamatan Tembarak dan Banaran Kecamatan Tlilir , Kabupaten Temanggung
Kobra Siswo
Kesenian yang
satu ini,konon merupakan representasi dari oleh raga. Kesenian ini berarti
mengajak masyarakat untuk gemar berolah raga, menjaga kondisi tubuh agar tetap
sehat dan bugar. Cukup masuk akal memang, karena kesenian ini berbeda dari yang
lainnya. Gerakannya cepat dan energik. Namun, meskipun demikian tetap ada
tatanan tarian yang harus diikuti dan harus seragam antara pemain satu dengan
pemain yang lainnya.
Lokasi:
Banaran Kecamatan Tlilir, Nglamuk Kecamatan Tlilir, Kaloran Kecamatan Kaloran , Kandangan dan beberapa kecamatan lain di Kabupaten Temanggun
Banaran Kecamatan Tlilir, Nglamuk Kecamatan Tlilir, Kaloran Kecamatan Kaloran , Kandangan dan beberapa kecamatan lain di Kabupaten Temanggun
Dayakan
Dayakan
merupakan pengembangan dari tarian Kubro Siswo. Perbedaannya adalah pada
kostum. Kubro Siswo hanya menggunakan celana kolor dan rompi saja, sedangkan
dayakan menggunakan kostum berupa pakaian setengah Dayak dan setengah Indian,
yaitu terdapat bulu-bulu di bagian topi. Menggunakan kaos ketat dan dilengkapi
dengan Rencong. Gerakannya tidak kalah energik dengan Kubro Siswo.
Lokasi:
Kandangan Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung.
Kandangan Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung.
Pengantin Khas
Temanggung
Busana khas
Temanggung digali, diciptakan dan dikembangkan agar nantinya menjadi busana
yang dimiliki dan dipakai oleh masyarakat Temanggung sendiri dengan rasa bangga
pada setiap saat yang tepat sesuai dengan norma dan kententuan yang ada,
sehingga jika daerah lain melihat akan menilai bahwa busana yang dipakai orang
Temanggung menunjukan identitas bahwa orang tersebut adalah orang Temanggung
karena busana khasnya.
merupakan
tujuan wisatawan baik domestik maupun mancanegara.Acara diawali dengan ‘Musik
Cenglungan” dari Desa Geblok Kaloran, yang langsung menyita perhatian wisatawan
benar-benar mampu menyajikan seni tradisional yang atraktif dan menarik.
Pengunjung benar-benar dibuat terpesona dengan Musik yang berasal dari kruduk
(alat teduh pengembala bebek).
”Dalam sela
acara juga ditampilkan Kuda Lumping bikin kangen Temanggung, membuat sajian ini
lebih menarik dan sangat mengagumkan, rasanya ingin menyaksikan lebih lama
lagi” Ujar Wahyudi warga asli Wonoboyo yang kini menjadi pengusaha las di
Jakarta. Juga di gelar pameran produk industri kecil berupa tas mendong, stik
dan criping talas, pisang aroma, karak/lenteng, batik Temanggung dan kerajinan
kuda lumping.
Tradisi
Sadranan
Sadranan di
desa jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten Temanggung yang dilaksanakan
Jumat (7/8) berlangsung meriah, diikuti ratusan warga. Upacara ritual sadranan
yang rutin diselenggarakan setahun sekali pada setiap hari Jum’at
Pahing bulan Ruwah itu, ditandai dengan pesta nasi tenong dan ingkung ayam yang
jumlahnya mencapai 500 buah. Sesepuh Desa Jetis Mukidi yang juga menjabat
Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) menjelaskan, tradisi
sadranan sudah berlangsung turun temurun sejak dulu kala.
Sadranan diselenggarakan sebagai ungkapan rasya syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas berkah, rejeki dan keselamatan yang telah diberikan
selama ini, sehingga warga desa bisa hidup tentram dan sejahtera. Selain
itu juga dimaksudkan untuk mengenang arwah para leluhur desa
yang semasa hidupnya telah berjasa merintis keberadaan desa.
“Tradisi sadranan ini dimaksudkan sebagai
ungkapan syukur atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa, sekligus
untuk mengenang Nyi Nondo yang diyakini sebagai leluhur perintis desa“
ujarnya seraya menambahkan, tradisi sadaranan diawali dengan pembacaan Tahlilan
di komplek makam.
Menurutnya,
peserta sadranan tidak hanya diikuti warga Desa Jetis saja namun juga diikuti
sejumlah warga luar desa yang mempunyai leluhur di Jetis. Mereka sambil
membawa nasi bucu tenong, ingkung ayam dan aneka jajanan berdatangan di
komplek makam desa yang dijadikan tempat ritual Sadranan. Seluruh
peserta dengan penuh khidmat duduk berjajar mengikuti seluruh prosesi
ritual yang ditandai berdoa bersama, dipimpin ulama desa. Seusai
doa untuk memohon keselamatan dan limpahan rejeki dari yang maha kuasa,
makanan yang mereka bawa kemudian dinikmati sebagai ungkapan syukur. Sementara
itu sembari menikmati makanan, beberapa petugas mengambil
potongan nasi bucu berikut sebagian lauk pauk dan jajanan untuk dikumpulkan .
Hasil makanan yang dikumpulkan, setelah dikemas dalam ratusan kantong
plastik, kemudian dibagikan kepada seluruh peserta dan tamu undangan sebagai
nasi berkat untuk dibawa pulang.
“Dengan pembagian nasi berkat ini,
sebagai tanda bahwa seluruh prosesi ritual sadranan telah selesai.
Warga dengan penuh rasa bahagia meninggalkan komplek makam
pulang ke rumah masing-masing guna beraktifitas kembali sebagaimana
biasanya“ tandasnya.
Kepala Desa
Jetis , Sudibyo, SE mengatakan, tradisi sadranan akan terus dilestarikan
di masa-masa mendatang sebagai warisan budaya dari nenek moyang. Diutarakan,
melalui penyelenggaraan ritual sadranan selain dimanfaatkan
untuk doa bersama dan ungkapan syukur, juga sekaligus sebagai
wahana mempererat tali persaudaraan sesama warga.
3 Tari Kreasi Baru Pareanom
Sanggar seni
Pareanom Temanggung menciptakan tiga tari kreasi baru, yang mulai dikenalkan
kepada para guru di sejumlah sekolahan dan grup-grup kesenian. Tari-tarian yang
bernuansa Jawa dan kerakyatan tersebut yakni, TARI SEBLAK SODHER, TURONGGO SARI
dan ONDE-ONDE GANDUM. Tari-tari tersebut merupakan karya para pengajar
sanggar seni PareanoM Balai Kelurahan Banyuurip, Temanggung.
TARI
SEBLAK SODHER
Merupakan karyanya bersama Nunik, dengan
penata iringan Didik Nuryanto itu, diinspirasi tari tradisional lengger. Tari
tersebut menggambarkan ungkapan kegembiraan para petani di lereng Gunung
Sumbing, setelah panen tembakaunya berhasil.
TARI
TURONGGO SARI
Mengisahkan
konflik batin remaja di masa puber. Di mana, mereka berkeinginan pacaran tetapi
tidak diperbolehkan orang tuanya, sehingga hasratnya itu diekspresikan dalam
bentuk gerakan prajurit berperang dengan menunggang kuda. Tari yang diinspirasi
dari gerakan-gerakan dalam tarian kuda lumping tersebut merupakan buah karya
Tri Roso dan Paramitha. Sedangkan, penata iringannya adalah Didik Nuryanto.
TARI
ONDE-ONDE GANDUM
Merupakan
analisa dari suasana tidak karuan atau tidak pasti, seperti halnya yang
disimbolkan makanan onde-onde gandum. Hal-hal yang tidak pas tapi terjadi itu
diekspresikan secara artistik, sehingga menghasilkan bentuk tarian tersebut. "Tari
onde-onde gandum ini idenya dari tari rakyat badui, yang merupakan tari
religius Islam. Gerakan-gerakannya pun dinamis dan energik, sebagai bentuk
syiar agama Islam,''tutur dia, seraya menambahkan, pencipta dan penata iringan
tari ini adalah Didik Nuryanto.
Seni Tradisional Sumbingan
Kabupaten Temanggung
tahun ini kembali menggelar pentas di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta,
Minggu (10/7). Dalam pagelaran berdurasi sekitar 45 menit, duta seni
Kabupaten Temanggung menyajikan seni tradisional ”Sumbingan” yang merupakan
kolaborasi seni kuda lumping, soreng dan topeng ireng. Pagelaran yang
berlangsung di Anjungan Jawa Tengah itu berhasil menarik perhatian ratusan
pengunjung baik warga Temanggung yang berdomisili di Jakarta maupun wisatawan
domestik dan asing yang tengah berkunjung ke tempat wisata itu. Hadir
dalam kesempatan itu Sekda Drs. Bambang Arochman, MM, Kepala Disbudparpora Drs.
Subekti Prijono, ketua Pikatan Anif Punto, sesepuh kadang Temanggungan Soegiri,
serta beberapa pejabat pemerintah Kabupaten Temanggung.
Diawali dengan penyajian ”Rampak Gendang”,
yang langsung menyita perhatian wisatawan, para pelaku ”Sumbingan” yang
merupakan juara Festival Kesenian Tradisional Kabupaten Temanggung yang digelar
pada akhir Mei 2010 lalu, benar-benar mampu menyajikan seni tradisional yang
atraktif dan menarik. Pengunjung benar-benar dibuat terpesona dengan tarian
kaya inovasi yang mengisahkan tentang kepahlawanan Pangeran Diponegoro. ”Kuda
Lumping bikin kangen Temanggung, kolaborasi dengan Soreng dan Topeng Ireng
membuat sajian ini menarik dan sangat mengagumkan, rasanya ingin
menyaksikan lebih lama lagi” Ujar Wahyudi warga asli Wonoboyo yang kini menjadi
pengusaha las di Jakarta. Kepala Disbudparpora dalam laporannya mengatakan
pengiriman duta seni ke TMII adalah dalam rangka melaksanakan tugas dari
Gubernur Jawa Tengah dan merupakan kegiatan tahunan. Perwakilan yang diambil
tahun ini merupakan juara I Festival Kesenian Tradisional yang digelar
Disbudparpora bekerja sama dengan Sanggar Seni Pareanom akhir Mei lalu.
Kesenian Sumbingan akan menjadi pembuka dalam pegelaran akbar seni tradisional
Bulan Oktober mendatang di Temanggung. Sementara itu Sekda Drs. Bambang
Arochman, MM dalam sambutannya, mengabarkan kondisi terakhir Temanggung kepada
warganya yang kini tinggal di Jakarta.
Festival Budaya
Temanggung
Kabag Humas menyebutkan sudah tercatat 31 jenis kesenian antara lain
sorengan, kubro, prajuritan, kuda lumping, rebana, barsomah dan lain-lain. Juga
akan ditampilkan kesenian cengklungan khas Temanggung yang saat ini sudah hampir
punah. cengklungan, masih kata Anteng, adalah irama musik yang muncul karena
petikan tali pada caping besar yang biasa digunakan oleh para pengembala itik.
”Cengklungan itu sudah punah, tetapi teman-teman di Dinas Kebudayaan berhasil
menemukannya dan besok tanggal 15 dapat anda saksikan” katanya.
Selain kesenian
tradisional, juga akan ditampilkan kesenian murni yakni aktivitas pelukis
Temanggung, sekaligus akan memamerkan karya-karyanya yang sudah jadi. Demikian
juga atraksi para ahli dalam membuat kerajinan ukir tembaga. Menyinggung latar
belakang gagasan festival ini, Anteng Unjiani menyatakan bahwa bahwa di
Temanggung ini terdapat sedikitnya 1.400 kelompok kesenian yang sebagian besar
sudah memiliki organisasi. Mereka adalah kelompok masyarakat di pelosok desa
yang sangat penting untuk ditampilkan di hadapan masyarakat umum. ”Selama ini
mereka hanya main di lingkungan yang terbatas, kali ini mereka akan ditampilkan
di jalan umum dan ditonton masyarakat umum. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda & Olah Raga, panitia
sudah menginformasikan rencana Festival ini kepada para pengelola biro travel
khususnya yang berada di Jogjakarta, dan beberapa biro sudah mengkonfirmasikan
akan datang dengan membawa tamu-tamunya. Untuk lebih meramaikan Festival,
juga akan diadakan lomba foto yang terbuka untuk umum. Materi lomba adalah
kelompok festival.
Kesenian Parakan,
Temanggung
Sejarah
Berdasarkan catatan sejarah Nugroho Notosusanto, daerah Parakan ini adalah merupakan sima
atau semacam tanah hibah pada masa Mataram Kuno. Beberapa peninggalan berupa prasasti dan candi
bisa ditemui di sekitar wilayah Parakan, di antaranya Candi
Gondosuli yang berada di
sebelah tenggara Parakan.
Pada zaman penjajahan dulu daerah ini terkenal
dengan senjata bambu runcing. Salah satu tokoh penggerak para pejuang
pada masa perang kemerdekaan adalah K.H. Subchi (nama aslinya Subuki) yang dijuluki "Jenderal Bambu
Runcing" (sekarang namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kampung
Kauman Parakan), sedangkan tokoh-tokoh yang lain diantaranya K.H.
Nawawi (dengan nama kecil: Islam), K.H.R. Sumo Gunardo, K.H. M Ali ((pengasuh pesantren tertua di Parakan),
K.H. Abdurrahman, Sahid Baidzowi, Ahmad Suwardi, Istachori Syam'ani Al-Khafidz
dan masih banyak lagi yang lain. Parakan juga merupakan tempat lahir tokoh
perjuangan nasional Mohamad Roem, yang terkenal sebagai delegasi Indonesia
dalam perundingan diplomasi Roem-Roijen.
Dikatakan Parakan karena bersemayam kyai yang disebut parak atau perek. Kyai Parak
pertama berasal dari Yaman dan yang kedua dari pelarian Mataram
ketika Amangkurat II memerintah dan dalam struktur
pemerintahan zaman Belanda tidak pernah tercantum kelurahan Parakan melankan
Jetis, Klewogan dan sebagainya namun dalam susunan berikutnya menjadi daerah
kawedanan masih banyak yang harus diungkap tentang parakan termasuk perhatian
pemerintah hindia belanda dengan parakan karena banyak pelarian tentara
diponegoro yang mengungsi di Parakan sehingga Belanda sengaja menjadikan
Parakan sebagai pusat candu agar generasi mudanya rusak dan sulit untuk
bergolak menentang Belanda.
Parakan pernah menjadi pusat pemerintahan
Kabupaten menoreh dengan bupati terakhir KRT. Sumodilogo yang membuat heboh dan
meninggal dibunuh oleh tentara Diponegoro dimakamkan di Kalam Jolopo Krasak
sedang kepalanya di Selarong, Yogyakarta. Menurut catatan ada beberapa ulama pengikut
Pangeran Diponegoro yang bermukim di Temanggung al. Kyai Shuhada.
Budaya dan Masyarakat
Mata pencaharian
Mayoritas masyarakat Parakan berprofesi sebagai petani, baik tanaman pangan
(padi dan jagung) maupun komoditas lain yang sempat menjadi ciri khas, yakni tembakau. Profesi mayoritas kedua di Parakan adalah sebagai pedagang yang berpusat
di beberapa pasar tradisional, dan ada juga yang berprofesi sebagai tukang
bangunan, seniman, dll.
Keagamaan
Mayoritas penduduk Parakan beragama Islam, terbukti
dengan banyaknya masjid, surau dan pesantren di daerah ini. Namun
demikian, terdapat juga wihara, kelenteng dan gereja yang membuktikan
eksistensi pemeluk agama lain di kota tersebut. Toleransi antarumat beragama di
Parakan relatif tinggi yang dibuktikan di antaranya dengan berbagai perayaan
hari besar keagamaan yang turut dimeriahkan oleh penganut agama lainnya.
Milsanya pada malam sebelum Hari Raya Idul Fitri, masyarakat mengadakan pawai obor keliling kota
dan didukung dengan semarak oleh mereka yang beragama lain.
Pada saat hari raya Idul Fitri pun mereka yang
berlainan agama saling bersilaturahmi tanpa membedakan suku dan agama. Ada juga
"Parade Kesenian Tradisional Islam" yang biasanya diadakan tiap
tanggal 1 Hijriah (Tahun Baru Islam) berpusat di depan Masjid Al Barakah Bambu
Runcing, Kauman, Parakan, yang dimeriahkan dengan berbagai macam unjuk
kebolehan dari beberapa jenis kesenian, baik yang tradisional maupun modern
yang sudah diadakan tiap tahun sejak 1995. Sebaliknya, saat Hari Raya Imlek, masyarakat bersama-sama menikmati hiburan Liong atau Barongsai dan kadang-kadang Wayang Potehi atau boneka panggung khas negeri Cina di halaman kelenteng. Demikian pula saat hari Natal sering diadakan hiburan atau bazaar yang melibatkan masyarakat dari
agama lain.
Tempat Bersejarah
Terdekat
- Kreteg Kali Galeh, Jembatan Sungai (Kali) Galeh
lama masih digunakan sebagai penyeberangan pejalan kaki. Pada masa
penjajahan Belanda, jembatan tsb pernah dibumihanguskan para Pejuang untuk
menghalau penjajah masuk Kota.
- Masjid Al Barakah
Monumen Bambu Runcing, Kauman Parakan merupakan Markas perjuangan pada masa penjajahan
Belanda. Sudah beberapa kali Masjid bersejarah ini dipugar.
- Monumen Stasiun
Sepur, Parakan
Wetan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, stasiun ini digunakan sebagai
terminal pengangkutan para pejuang (terutama dari Jawa Timur) yang akan menyepuh
(memberikan kekuatan spiritual) Bambu Runcing kepada para Kyai di Parakan.
- Pasar Legi, Jetis Kauman.
- Pasar Entho, Parakan Wetan.
- Pemandian Traji.
- Pondok Pesantren
Kyai Parak, Kauman
Parakan.
Acara/ Peristiwa Menarik
- Padusan, acara mandi/ pembersihan badan
bersama, dilakukan di sungai/ kolam, sehari sebelum Romadhon
- Parade Kesenian
Tradisional Islam,
setiap 1 Muharram/ Sura dipusatkan di Masjid Al Barakah Monumen Bambu
Runcing.
- Pawai Oncor, Parade Obor disertai Takbir setiap
malam lebaran (1 Syawal).
- Sura, Mantenan Pak Lurah/ bu Lurah,
setiap 1 Muharram/ Sura dipusatkan di Pemandian Traji
- Nyadran, acara pembersihan di setiap Kuburan
Islam, beberapa hari sebelum Romadhon, setelah selesai dilanjutkan dengan
makan bersama, biasanya makan Sego Gono. Di
beberapa desa di lereng Gunung Sumbing, Nyadran tsb dilakukan dengan
memberi makan nasi lengkap beserta lauk pauk kepada saudara/ famili/ orang
yang dihormati.
Kesenian tradisional
- Kubro (Kubrosiswo):
Tarian dengan memakai seragam & topeng, diikuti dengan alat musik
pukul. dimainkan juga oleh anak anak.
- Jaran Kepang (Kuda Lumping): Tarian dengan menggunakan tunggangan kuda
yang terbuat dari bambu dan dihias meriah.
- Ndibak: Lantunan puji-pujian Islami dalam
bahasa Arab, yang dinyanyikan bersama-sama yaitu dengan membacakan
sebagian kitab Barjanji.
- Kadaro: lantunan puji-pujian terhadap rosul
diiringi tiga buah terbang besar yang ampai sekarang masih
eksis tiap malam jumah pahing berlatih di musholla wakfiyah (bani israel)
karang tenagah parakan kauman.
- Zanzanen/ Barjanjen (selawatan jowo)lantunan pijian
kepada nabi saw dengan musik perkusi tradisioal kelompok ini ada di
kampung jogomertan dll .
- Salabat di desa campursalam parakan.
- Burdahan.
Wisata Alam Jumprit
Kawasan ini
berada di ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut (dpl) dan berada di lereng
Gunung Sindoro tempatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo. Jaraknya hanya
sekitar 26 km dari barat laut kota Temanggung.
Jumprit,
merupakan daya tarik wisata spiritual di
lereng gunung Sindoro dengan panorama alam pegunungan dan bumi perkemahan
berhawa sejuk. Tempat ini erat hubungannya dengan legenda Kyai Nujum Majapahit
yang tertulis dalam serat Chentini. Didekat mata air jumprit terdapat makam Ki
Jumprit.
JUMPRIT (PENGAMBILAN AIR SUCI
WAISAK) peziarah melakukan semedi yang biasanya dilanjutkan dengan
mandi kungkum, membuang celana dalam, BH sebagai perlambang menghilangkan Sial.
Air jumprit juga digunakan sebagai Air Berkah untuk upacara Tri Suci Waisak
setiap tahunya. Jalan menuju lokasi sudah diaspal sehingga perjalanan cukup
menyenangkan sambil menikmati potensi Agrowisata. Disediakan wisma untuk
menginap dan anda dapat menikmati udara dan dapat menikmati udara segar serta
indahnya pemandangan matahari terbit.
MACAM - MACAM SENI TARI
TRADISIONAL JAWA
Tari
sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata tersebut
mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah
benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud
gerak yang luluh.
Seni
tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-gerak organ
tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending
sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya
sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian
berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat
sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat dari
kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam
Wuruk.
Surakarta
merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta dan di
Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah
Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa
Tengah, terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di
Kraton Surakarta itu sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai
ahli-ahli yang dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih
keluarga Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang
berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta.
Macam-macam tariannya: Srimpi, Bedaya, Gambyong, Wireng, Prawirayuda,
Wayang-Purwa Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari
Langendriyan, yang mengambil ceritera Damarwulan.
Dalam
perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam dunia
tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang termasuk
seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam
tari daerah setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional, seperti
:
v
Dadung Ngawuk,
v
Jaran Kepang,
Kesenian khasTemanggung ini diperagakan secara massal, sering
dipentaskan untuk menyambut tamu -tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu
upacara
v
Incling,
v
Dolalak,
di Purworejo. Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang
penari yang berpakaian menyerupai pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo
dulu dan diiringi dengan alat-alat bunyi-bunyian terdiri dari kentrung, rebana,
kendang, kencer, dllnya. Menurut cerita, kesenian ini timbul pada masa
berkobarnya perang Aceh di jaman Belanda yang kemudian meluas ke daerah lain.
v
Tayuban,
v
Jelantur,
v
Ebleg,
v
Ketek Ogleng,
Ketek Ogleng dari Wonogiri. Kesenian yang diangkat dari
ceritera Panji, mengisahkan cinta kasih klasik pada jaman kerajaan Kediri.
Ceritera ini kemudian diubah menurut selera rakyat setempat menjadi kesenian
pertunjukan Ketek Ogleng yang mengisahkan percintaan antara Endang Roro Tompe
dengan Ketek Ogleng. Penampilannya dititik beratkan pada suguhan tarian
akrobatis gaya kera (Ketek Ogleng) yang dimainkan oleh seorang dengan
berpakaian kera seperti wayang orang. Tarian akrobatis ini di antara lain
dipertunjukan di atas seutas tali.
v
Barongan,Blora
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, Barongan dan Wayang Krucil(sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, Barongan dan Wayang Krucil(sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
v
Sintren,
v
Lengger,
Kesenian khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang
laki-laki yang masing-masing berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita.
Diiringi dengan bunyi-bunyian yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa.
Tarian ini mengisahkan ceritera Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya
yang pergi tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa yang
digambarkan memakai topeng. Pada puncak tarian penari mencapai keadaan tidak
sadar.
PENUTUP
Kesimpulan
Seni
adalah sesuatu yang bersifat universal di belahan dunia ini, entah di negara
manapun selalu memiliki ciri khas tersendiri apabila ditinjau dari segi budaya.
Sedangkan dari segi arkeologis terdapat data
etnografi berupa kesenian di sebuah kalangan masyarakat tertentu, yang
dijadikan sebagai salah satu bahan analogi dalam usaha merekonstruksi
kebudayaan seni masyarakat tersebut pada masa lampau berkaitan dengan konsep
kesenian.
Ciri khas suatu daerah
dibedakan berdasarkan kebudayaan yang dimiliki setiap daerah, misalnya: cara
berpakaian, cara bercakap, ciri khas tarian, ciri khas pakaian adat dalam acara
penting, cara pengungkapan rasa syukur(tasyakuran/selamatan), peringatan
hari-hari besar jawa yang masih melekat sebagai kebudayaan khas Temanggung,
dll.
Temanggung merupakan
salah 1 kabupaten berkebudayaan Jawa terbanyak yang masih melekat erat, seperti
upacara peringatan tanggal 1 suro di Traji, jaran kepang khas Temanggungan,
dayakan khas Kandangan, kobra siswo khas Temanggungan, Peringatan hari besar ISLAM,
pengantin khas Temanggungan, dll.